June 2015

Rakyat sebenarnya tahu dan nampak, siapa "Penjajah", "Agen penjajah" dan “Pengkhianat” sebenar! Dan rakyat juga tahu siapa rakyat atau pemimpin yang benar-benar berjuang memelihara dan melindungi kedaulatan dan keselamatan Negara Bangsa Sabah!

Sejarah membuktikan, sifat "Agen Penjajah" kadangkala lebih jahat, hina dan keji daripada "Penjajah"! Kerana "Agen Penjajah" mengkhianati negara dan bangsa sendiri semata-mata kerana agenda, motif dan muslihat untuk mendapatkan suaka politik, kedudukan jawatan atau kepentingan periuk nasi sendiri! Mereka bukan membela kedaulatan, keselamatan, maruah dan nasionalisme Negara Bangsa Sabah, tetapi mereka hanya mahu membela diri sendiri untuk kepentingan sendiri!

Bagi mencapai agenda, motif dan muslihat mereka, “Agen Penjajah” terpaksa memutar belit fakta, menipu, berbohong, berpura-pura, bermuka-muka, memeras ugut, menindas, bertindak zalim, menganiaya, memecat, membunuh, memenjara atau menyeksa rakyat Negara dan Bangsa Sabah! Atas pengaruh, tekanan dan kerjasama pihak “Penjajah”, “Agen Penjajah” bertindak sebagai boneka atau proksi, menjadi Pak Angguk, Pak Turut, Pak Unta dan Pak Hamba kepada “Penjajah”! Mereka mewujudkan dan berselindung di sebalik pelbagai sistem dan peraturan yang mengikat dan menindas hak dan kuasa rakyat! Mereka menggubal pelbagai sistem untuk menutup kebangkitan kesedaran kebangsaan, menutup pemikiran dan suara rakyat!

Sedangkan “Penjajah” menjajah untuk tujuan meluaskan empayar atau jajahan takluk, meluaskan kuasa dan pengaruh, mendapatkan sumber ekonomi/ bahan mentah, mendapatkan kawasan pasaran baru, mendapatkan kekuatan dalam aspek keselamatan, dan menyebarkan agama atau tamadun mereka dengan menjajah negara-negara atau wilayah-wilayah lain yang mereka anggap lebih lemah.

“Agen Penjajah” merujuk kepada seorang rakyat, atau sekumpulan individu rakyat, atau pemimpin, atau pertubuhan dalam sesebuah negara yang dipergunakan atau diperalat oleh “Penjajah” untuk mencapai agenda penjajahan pihak “Penjajah”! Justeru, “Agen Penjajah” bersubahat dengan “Penjajah", dan mereka mempunyai hubungan terancang dan sulit untuk mencapai agenda bersama! “Agen Penjajah”, mereka licik dan pandai bermuka-muka, berpura-pura bagi menunjukkan mereka baik dan betul, mencanangkan sesuatu isu bagi mengaburi atau mengalihkan minda rakyat, menghulurkan bantuan-bantuan bersifat sementara, tetapi hakikatnya mereka adalah petualang, pengkhianat, duri dalam daging, gunting dalam lipatan, musuh dalam selimut, api dalam sekam, kanser dalam daging sebenar! Sifat-sifat buruk, jijik dan keji yang dimiliki oleh “Agen Penjajah” inilah yang menyebabkan mereka dianggap sebagai “Pengkhianat”!

Dalam konteks Negara Sabah, "Penjajah" bermaksud pihak yang telah menyebabkan Sabah kehilangan kuasa kemerdekaan dan kedaulatan sebagai sebuah "Negara". “Penjajah” ini telah memungkiri dan mengkhianati Perjanjian Malaysia 1963 dan Perlembagaan Persekutuan Malaysia. “Penjajah” inilah yang telah menyebabkan Sabah kehilangan kuasa politik, kuasa ekonomi dan sumber-sumber kekayaan! “Penjajah” inilah yang telah menjajah minda rakyat Negara Sabah melalui penipuan dan manipulasi sejarah kenegaraan. “Penjajah” dan “Agen Penjajah” inilah yang telah bersama-sama bersubahat menurunkan taraf “Negara Sabah” kepada “Negeri Sabah”!

“Penjajah” inilah yang telah membawa seribu satu macam penyakit dan masalah ke Sabah melalui kerjasama “Agen Penjajahan” yang telah menjadi “Pengkhianat”! “Penjajah”, “Agen Penjajah” dan “Pengkhianat” ini telah bersama-sama mewujudkan “Projek IC”, “Projek Kewarganegaraan Songsang”, “Projek Pengundi Hantu”, “Projek Pengundi Disewa Beli”, “Projek Membeli ADUN”, “Projek Memindahkan Pengundi”, “Projek Menggugurkan Senarai Nama Pengundi”, “Projek Sijil Lahir”, “Projek Menambahkan Kawasan ADUN/Parlimen”, “Projek Merampas Tanah Sabah”, “Projek Merampas Tanah NCR Masyarakat Native”, “Projek Dasar Kabotaj (Carbotage Policy), “Projek GST”, “Projek Merampas Minyak dan Gas Sabah”, “Projek Merampas Cukai Sabah”, dan seribu satu macam lagi projek yang telah membawa penyakit kronik ke Sabah!

Justeru, rakyat tahu dan nampak, “Siapa Penjajah, Agen Penjajah dan Pengkhianat” yang sebenar yang telah merosakkan Negara Bangsa Sabah! Jika rakyat sudah tahu dan nampak, adakah rakyat faham, sedar dan insaf? Apa tindakan yang patut mereka buat sekarang? Fikir-fikirkan..!

Sumber: Borneo Nationalist

Beberapa waktu yang lalu penulis melakukan polling diantara anggota FoD “Lebih pilih mana Borneo merdeka atau Otonomi Khusus atau tidak nuntut apa-apa??” dari hasil polling sederhana ini ada sekitar 71 % menghendaki untuk Kalimantan Merdeka, 21 % menghendaki Otonomi Khusus, dan sisanya 8% tidak menghendaki apa-apa. Walaupun ini bukan polling yang representative terhadap semua penduduk asli Kalimantan, namun setidaknya penulis melihat suatu kegerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat ketidakpuasan atau kekecewaan Masyarakat Dayak terhadap Pemerintah Indonesia saat ini. Dan memang bukan rahasia lagi bahwa kegerakan desintegrasi ini tidak hanya terjadi di Kalimantan tetapi massive dibeberapa daerah yang juga merasakan ketimpangan pembangunan, seperti Papua, Aceh, Sumatra Utara. Bahkan sodara-sodara yang ada di Sabah dan Serawak merasakan ketimpangan perlakuan Pemerintahan Kerajaan Malaysia sehingga memunculkan suatu wacana mendirikan United States of Borneo.

Kalimantan merupakan pulau yang multi etnis, ada ratusan sub ethnik yang ada di Pulau ini dan kebanyakan memiliki bahasa, sejarah, budaya yang berbeda. Sebelum bergabung dengan NKRI & Malaysia, sebagian besar penduduk asli kalimantan belum muncul rasa nasionalisme kesukuannya atau disebut ethnic nationalism, kecuali sub suku yang sudah memiliki sistem kerajaan seperti Kutai, banjar, Paser, Tidung sehingga nasionalisme kesukuan mereka sudah lebih dahulu exist bahkan sebelum digunakan kata DAYAK untuk menyebut identitas penduduk asli Kalimantan saat ini, itulah terjadi internal conflict diantara sub suku seperti Kutai, Banjar, Tidung, Paser untuk menyebut dirinya Dayak. Secara Historis kata Dayak pada mulanya dipakai oleh para pedagang Melayu untuk menyebutkan suku-suku primitive yang kemudian istilah ini dipakai oleh Belanda. Kata Dayak pada mulanya adalah bentuk humiliation atau bentuk perendahanan dari ethnik yang memiliki “peradaban maju” terhadap penduduk asli yang masih dianggap “liar” itu sebab banyak istilah-istilah penyebutan penduduk asli Kalimantan pada masa lalu yang memiliki makna “urakan”, “setengah manusia”, “Primitive” dsb.

Akibat belum adanya rasa Ethno-Nasionalisme pada masa lalu maka umum terjadi sesama sub suku Dayak terjadi peperangan, perebutan kekuasaan dengan MENGAYAU atau memotong kepala, era itu dikenal dengan era ASANG KAYAU (Asang = memotong, Kayau = memenggal), kadang juga disebut era TETEK TATUM atau artinya era Ratap Tangis Sejati. Pada masa itu ada istilah 3 H, yaitu : HAPUNU = Saling Bunuh, HAKAYU = Saling Potong Kepala, & HAJIPEN = Saling memperbudak. Kampung yang kalah perang akan dijadikan budak bahkan diperlakukan sangat rendah. Rasa nasionalisme bangsa Dayak masa lalu selalu berkiblat pada kerajaan / kesultanan yang ada, sehingga tidak mengherankan banyak orang Dayak juga yang diperalat untuk menyerang kerajaan atau kampung lain, misal kisah penyerangan Tampun Juah (Kerajaan Iban) oleh kerajaan Sukadana dengan bantuan Pasukan Dayak Biaju, atau kisah kudeta Raden Rangga-Kasuma pada Kesultanan Banjar dengan menggunakan pasukan Dayak, bahkan hal ini juga dimanfaatkan oleh Pemerintahan Belanda untuk mengalahkan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme.

Tonggak sejarah mulai munculnya suatu rasa Ethno Nasionalisme bangsa Dayak adalah ketika Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, saat itu sudah ada identitas yang menyatukan puak suku-suku yang ada di Kalimantan dengan diterimanya istilah Dayak, sebagai suatu istilah awal yang berkonotasi negative menjadi suatu identitas yang mempersatukan semua bangsa Dayak, sampai pada era pergerakan kemerdekaan munculah organisasi seperti Sarekat Dayak yang kemudian berubah menjadi Pakat Dayak dan juga Partai Dayak. Munculnya organisasi pergerakan bangsa Dayak pada masa itu adalah akibat timbulnya kesadaran akan ketertinggalan orang-orang Dayak yang ingin maju dan bisa sejajar dengan suku-suku lain. Walaupun demikian pada masa itu rasa Ethno Nasionalisme yang berkembang masih pada suatu visi yang sama yaitu merdeka dari penjajahan Belanda dan bergabung pada gerakan kebangsaan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Sumpah Setia Pemuda Dayak untuk bergabung dengan NKRI pada tanggal 17 Desemebr 1946 di Gedung Agung Yogyakarta dan disaksikan oleh Presiden Soekarno.

DOMINASI EKONOMI DAN SOSIAL POLITIK PULAU JAWA

Walaupun Bangsa Dayak secara rela pada masa lalu ingin bergabung dengan NKRI tetapi ternyata selama 68 tahun Republik ini merdeka terutama pada era Orde Baru cita-cita yang hendak dibangun oleh the founding father yaitu “KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH BANGSA INDONESIA” ternyata hanya berkembang menjadi KEADILAN SOSIAL BAGI PULAU JAWA – pembangunan yang hanya berpusat pada Pulau Jawa dan dikurasnya kekayaan alam pulau lain tanpa ada perimbangan pembangunan membuat munculnya rasa “dianak tirikan”. Pemerintahan Indonesia menjadi lebih Ethnocentrism Jawa atau dikenal dengan istilah Jawanisasi yaitu di mana budaya Jawa mendominasi, menyerap, atau memengaruhi budaya lain secara umum. Kata “penjawaan” dapat berarti “untuk membuat menjadi Jawa dalam bentuk, idiom, gaya, atau sifat. Dominasi ini bisa terjadi dalam berbagai aspek, seperti budaya, bahasa, politik, dan sosial.

Gerakan ini juga dapat dilihat dari kebijakan Transmigrasi Pemerintah Pusat dimana pembangunan yang hanya berpusat di Pulau Jawa menyebakan program transmigarasi ke Pulau Lain hanya seolah-olah mengekspor penduduk miskin  & bermasalah dari pulau Jawa ke Pulau lain untuk bisa maju dan sukses TANPA memperhatikan keadaan penduduk lokalnya silahkan lihat artikel MENGKRITISI PROGRAM TRANSMIGRASI, kalau orang sering mencibir penduduk lokal dalam kasus ini Orang Dayak “Tidak berjuang, pemalas, bodoh, dsb”. Orang Dayak bukanlah suku yang pemalas atau juga bodoh, orang Dayak punya daya juang untuk maju (Silahkan baca: Filosofi Dayak & Kerja Keras) tetapi kebijakan Pemerintah yang seolah-olah menganaktirikan penduduk dari pulau Kalimantan, tidak diberikannya kesempatan, tidak dibangunnya akses pendidikan yang memadai, menyebabkan semakin terpuruknya kualitasnya. Ini berbanding terbalik dengan Sumber Daya Alam yang dikuras oleh pusat demi mensejahterakan Pulau Jawa.

Bayangkan sampai saat ini banyak akses jalan yang susah tembus ke kampung-kampung dan pedalaman, bagaimana generasi mudanya mau mengenyam pendidikan?, bagaimana mau ada pergerakan ekonomi untuk menjual hasil buminya jika aksesibilitas itu ternyata tidak dianggap penting oleh pemerintah, butuh berhari-hari untuk bisa mencapai kota jiika harus melalu jalur sungai. Susahnya akses jalan membuat harga BBM sangat mahal, misal di Murung Raya harag sebelum BBM naik 15 ribu per liter itupun susah dicari, di Malinau 11 ribu/liter, di Krayan 22 ribu/liter bahkan pernah mencapai harga 60 ribu/liter, padahal minyak dan batu bara diambil dari pulau ini!!! Ini belum bicara akses kesehatan, pendidikan dsb. Kemudian para transmigran diberikan lahan untuk berusaha, sedangkan orang dayak sendiri susah dipersulit untuk mengurus ijin atas tanahnya sendiri, punyapun masih direbut paksa demi kepentingan kelapa sawit dan tambang, kalau tidak mau menyerahkan tanahnya malah dipidanakan di penjara.

Selain itu tidak diberinya kesempatan penduduk asli untuk menjadi pemimpin atas daerahnya sendiri. Bisa dicontoh di Kalimantan Timur sampai hari ini belum pernah ada satupun pernah dipimpin oleh orang Dayak, bukan karena tidak ada yang mampu tetapi secara struktural dipersulit – berkaca dari pengalaman pemilihan Gubernur yang lalu ketika ada calon Dayak yang maju begitu banyak faktor yang mempersulitnya, atau di Kalimantan Barat baru hanya dua kali dalam sejarahnya dipimpin oleh Orang Dayak, dan pada masa Orba orang-orang Dayak diperlakukan dengan tidak adil akibat gerakan PGRS/PARAKU. Selain masalah shared power, ketimpangan yang lain adalah pembangunan dasarnya, misal; akses jalan, listrik, pendidikan, kesehatan dll. Padahal sumber Daya Alamnya dikuras habis-habisan tetapi justru Pulau Kalimantanlah yang harus merasakan sukarnya mendapat listrik, BBM, akses jalan, dll. Sehingga kemajuan pembangunan dan kemandirian ekonomi sukar dicapai oleh penduduk aslinya. Dominasi secara eknomi dan politik dari egaliter Pulau Jawa dan tidak adanya Share Power merupakan salah satu penyebab munculnya gerakan desintegrasi ini.

PERUSAKAN ALAM KALIMANTAN OLEH KAUM KAPITALIS

Orang Dayak tidak bisa dipisahkan dari Hutan, sebab dalam budaya Dayak Hutan adalah representative dirinya , Orang Dayak tanpa hutan akan kehilangan identitasnya silahkan baca MITE PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAYAK BUKIT. Peneliti keragaman hayati menyatakan pulau Kalimantan adalah hotspot keragaman hayati dunia. Tercatat paling tidak 222 jenis mamalia, 420 jenis burung, 136 jenis ular, 394 jenis ikan air tawar, dan lebih dari 3000 jenis pohon-pohonan. Namun pengerukan sumber Daya Alam baik itu akibat pertambangan, perkebunan sawit dan illegal logging menyebabkan makin menyusutnya hutan Kalimantan – dengan dalih percepatan pembangunan tanpa memperhatikan norma-norma serta kaidah-kaidah keseimbangan menurut data laju pengurangan tutupan hutan di empat propinsi di Kalimantan dari 600 ribu ha hingga 1,1 juta ha per tahun, dan tampaknya akan terus terjadi hingga hutan alami tak tersisa. Begitu pula dengan negara tetangga walaupun tidak besar tetapi terus terjadi, sebesar 0.64%  per tahun dari luas hutan di Serawak dan begitu pula dengan Sabah, di Malaysia. Seperti halnya kawasan hutan tropis lainnya di dunia, di Kalimantan faktor utama dan pertama yang menyebabkan hutan tropis terus berkurang adalah pemerintah dengan kebijakannya memberikan ijin pembukaan lahan dengan berbagai peruntukan. Apa gunanya pembangunan bila kelestarian ekosistem hancur?? apa artinya pembangunan bila pada akhirnya para kaum pribumi juga terpinggirkan??, hak-hak mereka terampas oleh kerakusan para pengusaha para kapitalis???. Silahkan saksikan video ini – ‘Banking while Borneo burns’

Bagi warga yang tidak mau melepaskan tanahnya bagi kaum Kapitalis direbut paksa demi kepentingan kelapa sawit dan tambang, kalau tidak mau menyerahkan tanahnya malah dipidanakan di penjara. Ini salah satu contoh dari ribuan kasus yang terjadi:

Adalah Burhan, warga Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), tanah dan kebun karet dirampas perusahaan sawit. Kala protes, diapun harus menghadapi penjara 1,5 tahun. Nasib sama dialami Wardian. Warga Seruyan ini harus menjalani 1,5 bulan penjara karena tak terima kala tanah dan kebun durian terbabat sawit semena-mena. Nasib miris, juga dialami Langkai TN, dari Desa Kanyala, mendekam di penjara 1,6 tahun didakwa melakukan perbuatan tak menyenangkan. Padahal, dia protes lahan dan kebun karet diklaim perusahaan sawit Mereka menjadi terpidana gara-gara berusaha mempertahankan wilayah hidup

ADANYA GERAKAN ANTI PANCASILA DAN PLURALISME

Seharusnya pemerintah Indonesia cukup berbangga dengan Bangsa Dayak yang masih konsisten menyanjung ideologi PANCASILA, namun semenjak era reformasi menyebabkan tumbuh suburnya faham-faham garis keras dan dipertontonkan secara terang-terangan tanpa ada tindakan tegas oleh pemerintah terhadap kelompok yang mengancam keberagaman dan pluralisme. Misal banyak kasus penutupan / penyegelan gereja, ancaman perusakan patung naga di singkawang, FPI, dsb.

Orang Dayak secara kulturnya sangat menghargai keberagaman dan ini tercermin dari budaya falsafah rumah betangnya walaupun berbeda keyakinan namun tetap hidup secara komunal dan saling menghargai. Gerakan-gerakan anti pancasila ini beberapa kali pernah di usir di Palangkaraya misal ketika FPI hendak masuk ke Palangkaraya (Silahkan baca: FPI), Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang secara terang-terangan dan terbuka menentang Pancasila, Sumpah Pemuda, untungnya segera mendapat reaksi keras dari Masyarakat Dayak di Palangkaraya. Jika faham ini makin subur maka ada rasa insecure, tidak sefaham lagi sehingga akan membuat rasa desintegrasi ini akan semakin menguat.

Selain di Indonesia ternyata setali tiga uang denga hal  dihadapi oleh masyarakat Dayak yang ada di Serawak dan Sabah. Dimana pemerintahan Malaysia lebih memperhatikan penduduk melayunya. Definisi melayu selain berbudaya melayu atau keturunan melayu juga adalah orang-orang yang sudah memeluk agama islam, sehingga majority penduduk asli Sabah & Serawak sering kali merasakan ketidakadilan – karena tidak masuk didalam salah stau definisi itu. Baru-baru ini kasus pelarangan penggunaan kata Allah dalam alkitab bahasa Melayu – yang memang lebih pada muatan egaliter politik melayu di Malaysia, juga merupakan salah satu faktor yang membuat munculnya rasa ingin memisahkan diri ini juga di Sabah & Serawak.

ADANYA UPAYA PENGHAPUSAN SEJARAH DAYAK DIKALIMANTAN

Di dalam buku “Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry”. karangan penulis Swedia, Juri Lina tahun 2004 disebutkan ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri :
  • Kaburkan sejarahnya
  • Hancurkan bukti2 sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya
  • Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Dan hal ini yang sedang terjadi dengan Masyarakat Dayak, image didalam buku-buku pelajaran sejarah seolah-olah orang Dayak tidak memiliki sumbangsih apapun atas kemerdekaan – bahkan pernah ada statement dalam sebuah diskusi yang penulis baca bahwa orang Dayak pada masa lalu hanya tau berburu, minum tuak dan menombak babi. Padahal begitu banyak sumbangsih pejuang Dayak atas pembentukan republik ini namun begitu minimnya apresiasi pemerintah atas perjuangan ini. Hal ini pun diperparah dengan upaya beberapa kelompok tertentu yang menggiring suatu opini bahwa orang Dayak hanyalah suku pendatang di Pulau Kalimantan, sehingga pulau Kalimantan hanyalah pulau tujuan para pendatang. Tuduhan ini pernah diungkapkan oleh seorang Pandam Mulawarman – yaitu Pangdam Dicky, suatu tuduhan yang tak memiliki dasar histori – silahkan baca artikel : Menjawab Tuduhan Suku Dayak Adalah Pendatang Di Kalimantan, sehingga semua orang berhak atas pulau Kalimantan tanpa memperhatikan hak-hak penduduk aslinya.

Berikut salah satu contoh komentar negative yang terjadi di Serawak (note: comment ini hanyalah komentar pribadi seseorang namum ini menunjukan adanya kelompok / orang yang mencoba menghapus sejarah dan peran Dayak didalam kebangsaan dalam kasus ini di Serawak – Malaysia, namun juga ada terjadi di Indonesia)

Sehingga seperti pandangan salah satu anggota FoD:

“Kita diciptakan oleh Tuhan dialam Kalimantan yang sangat berkelimpahan dengan sumber Daya alam, tidak salah jika kelimpahan ini perlu dibagi bagi kepada saudara-saudara kita yang diciptakan oleh Tuhan di pulau lain yang memang kurang akan sumberdaya alamya, bahkan kelimpahan inipun harus dijual kepada bangsa lain yang berada di belahan bumi lain. Ya..kita setuju saja…lalu…mengapa saat ini kita mulai bersikap resistent terhadap saudara-saudara kita yang datang dari pulau lain dan mulai mengkotakkan diri? Jawabnya : Karena keserakahan mereka, setelah semuanya boleh dilakukan atas nama NKRI maka semua sendi kehidupan ingin dikuasai dan yang paling mengerikan adalah usaha menciptakan teori baru tentang siapa kita dulu oleh penjahah kita digambarkan sebagai manusia primitif, kemudian oleh sesama kita, kita disebut pula sebagai orang kafir, sekarang malah akan diperkuat lagi bahwa kita ini adalah pendatang dari negeri Cina sehingga akhirnya hanya merekalah yang beradab, ber-Tuhan dan kita hanyalah pendatang”

Sebenarnya hal ini sudah jauh hari diramalkan oleh JAMES BROOKE kepada masyarakat suku Dayak yang ditulis dalam bukunya “The White Rajah of Sarawak”, yang terbit tahun 1915 sebelum kemerdekaan Indonesia.yang berbunyi:

“Akan tiba saatnya ketika aku sudah tidak disini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan untuk merampas apa yang sesungguhnya hak mu yakni tanah dimana kamu tinggal, seumber penghasilanmu dan bahkan makanan yang ada dimulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan manjadi para tuan dan pemilik. Sedangkan kalian hai anak-anak negri ini (Dayak) akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Beberapa gerakan juga sedang digagas oleh beberapa elemen Masyarakat Dayak, yaitu wacana penggantian nama Pulau Kalimantan menjadi Pulau Dayak – dengan tujuan agara mempertahankan eksistensi Masyarakat Dayak sebagai bumiputera asli Kalimantan di negara ini. Memang perjuangan ini belum sepenuhnya diterima secara massive tetapi lobi-lobi sudah dilakukan – walaupun ini bukan bentuk gerakan separatisme tetapi ini menujukan bahwa Masyarakat Dayak sudah cukup muak dengan perlakuan PEMPUS yang secara struktural menggagahi hak-hak Masyarakat Dayak.

KESIMPULAN

Kata kuncinya adalah ketimpangan antara pusat dan daerah dan mulai menjauhnya arah pembangunan kita dari cita-cita awal republik ini, yaang termaktub didalam konstutusi kita. Rasa Ethno Nasionalisme yang awalnya tetap berada pada bingkai NKRI saat ini sudah berkembang menjadi gerakan secession. Bagaimanakah tanggapan pemerintah RI, nampaknya pemerintah lebih siap dengan pendekatan repressive ketimbang mencoba memperbaiki apa yang harusnya diperbaiki, seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu penangkapan seorang yang dianggap anggota separatis di Kab. Paser seperti direlease dalam web TNI (baca: ini), dan juga kesiapan kontak militer dalam latihan di Sangatta (Baca: Kompas).

Lalu sampai dimanakan gerakan ini di Kalimantan? saat ini penulis melihat baru mencapai pada tahapan ideologi dan kegerakan ini pun dialami oleh bangsa Dayak yang ada di Serawak dan Sabah, sehingga memunculkan rasa senasib sepenanggungan yang menghasilkan Rasa Ethno Nasionalisme Bangsa Dayak Raya. Dalam analisa pribadiku yang akan menentukan berkembang atau tidaknya gerakan ini nanti adalah Pemilu 2014 yang akan datang, jika pemimpin yang terpilih masih memakai politik egaliter & feodalisme pulau jawa semata, tidak adanya ketegasan pemerintah baik atas kasus korupsi, perusakan alam, ketimpangan pembangunan, maka bukan tidak mungkin gerakan yang awalnya hanya wacana akan diterima secara massive oleh Masyarakat Dayak dan menjadi perjuangan terbuka. Maka mau dibawakah Kalimantan? apakah masyarakat Dayak akan melakukan self determination-nya?

Tabe

16/maret/2014

March 15, 2014

Sentimen 'Sabah for Sabahans' sudah mendapat tempat di dalam setiap hati warga Sabah

KOTA KINABALU: Sebanyak 96% orang Sabah menuntut untuk berpisah daripada Malaysia, menurut undi yang telah dilakukan oleh seorang anak muda Sabah.

Undi yang dibuka oleh Moses pada 16 Februari sehingga kini telah menarik 1885 undian.

“Saya percaya generasi muda Sabah sudah menyedari kebenaran mengenai sejarah sebenar yang selama ini ditutupi,

“Mengapa sejarah dan fakta yang berharga dan yang sangat penting itu telah disembunyikan dari pengetahuan rakyat Sabah?,

“Kini generasi muda Sabah telah membuat keputusan mereka bahawa ia mestilah dilakukan sekarang atau sebelum terlewat,” tegas beliau.

Beliau menambah undian dilakukan kerana Sarawak telah berani menyuarkan hak mereka yang merupakan rakan kongsi dalam Persekutuan Malaysia.

Soalan yang diajukan hampir serupa seperti yang telah dilakukan oleh halaman Facebook, Hornbill Talks.

Moses juga berkata masa depan Sabah pasti lebih baik jika mereka mentadbir negeri mereka sendiri.

“Generasi muda Sabah perlu percaya bahawa masa depan mereka lebih terjamin dengan pemisahan daripada ‘Persekutuan yang Terbatal’ selepas Singapura dikeluarkan dari Persekutuan Malaysia,

“Ini menunjukkan bahawa sentimen ‘Sabah for Sabahans’ sudah mendapat tempat di dalam setiap hati warga Sabah,” lanjut beliau.

Beliau juga berkata bahawa undian ini akan dibuka sehingga 16 September tahun ini sempena menyambut Hari Malaysia.

On 9 August 1965, Singapore separated from Malaysia to become an independent and sovereign state.[1] The separation was the result of deep political and economic differences between the ruling parties of Singapore and Malaysia,[2] which created communal tensions that resulted in racial riots in July and September 1964.[3] At a press conference announcing the separation, then Singapore Prime Minister Lee Kuan Yew was overcome by emotions and broke down. Singapore’s union with Malaysia had lasted for less than 23 months.[4]

Singapore in Malaysia

Prime Minister Lee Kuan Yew signed the Malaysia Agreement in London on 9 July 1963.[5] The agreement spelt out the terms for the formation of the Federation of Malaysia, comprising Singapore, Malaya, Sarawak and North Borneo (Sabah), which was to take place on 31 August 1963.[6] The terms for Singapore’s entry into Malaysia, which were agreed upon by both the Singapore and federal governments, were published in a White Paper in November 1961.[7] This White Paper documented the outcome of talks between Lee and then Malayan Prime Minister Tunku Abdul Rahman on Singapore’s inclusion into Malaysia. The terms included the margins of Singapore's autonomy, Singapore's political representation in the federal government, the status of Singapore citizens and Singapore’s revenue contribution to the federal government.[8] Prior to the signing of the Malaysia Agreement in London, there was a week of “arduous and gruelling negotiations” over the more thorny issues of a common market between Singapore and Malaya, and the portion of Singapore’s revenue and taxes that would go to the federal government.[9] With these issues settled, Singapore began its journey as part of Malaysia.

A Difficult Union

Even before the proclamation of the formation of the Federation of Malaysia on 16 September 1963, Singapore and Malayan leaders were mindful that the differences in the political approach and economic conditions between the two countries “cannot be wiped out overnight”.[10] This, however, did not prevent sharp exchanges between the leaders of both countries throughout the period of the union. The slow progress of the creation of a common market and the difficulty in getting pioneer status from Kula Lumpur for Singapore industries frustrated Singapore leaders, while Kuala Lumpur was dissatisfied with Singapore's dogged response to the federal government’s clamour for increased revenue contribution to combat the Indonesian Confrontation, and for an agreed loan to develop Sabah and Sarawak.[11]

At the political front, the grossly imbalanced Malay-Chinese population in both countries made each vulnerable to communal prejudices which were played up by political leaders. The two major political parties in Malaysia, the People’s Action Party (PAP) and the United Malays National Organisation (UMNO), were soon accusing one another of communalism. The accusations escalated into tensions until they erupted into racial violence in Singapore on 21 July and 2 September 1964.[12] Despite agreeing to a two-year truce in September 1964, the acrimony between UMNO and PAP soon flared up again. At the heart of the rift was Lee’s multi-racial slogan, “Malaysian Malaysia”, which sowed deep distrust among UMNO leaders, especially the “ultras”, who viewed his vision of a non-communal Malaysia as a challenge to their party’s raison d'être of undisputed Malay dominance.[13]

Separation

By the second half of 1965, the stormy political climate in Malaysia showed no signs of easing. Tunku Abdul Rahman, who had become the Malaysian Prime Minister, was pressed to intervene to avoid a repeat of the communal clashes that had taken place in 1964. During his London trip to attend the Commonwealth Prime Ministers' Conference in June 1965, the Tunku decided that severing Singapore from the federation was the only course and communicated this to his deputy, Tun Abdul Razak, who was instructed to sound out the senior Malaysian ministers and lay the groundwork for separation.[14] By the time the Tunku returned to Kuala Lumpur on 5 August, Singapore’s days in the federation were numbered.[15]

The week leading to 9 August 1965 was a busy time for the leaders of both countries as by this time, separation had become a certainty.[16] Negotiations were, however, done in complete secrecy. In Singapore, not only were civil servants and permanent secretaries kept in the dark, but some senior PAP cabinet members, most notably Deputy Prime Minister Toh Chin Chye and Culture Minister Rajaratnam, were also clueless. Leading the negotiations for Singapore was then Finance Minister Goh Keng Swee, and for Malaysia, Tun Razak.[17] Razak was aiming to convene a federal parliament sitting on 9 August and was pushing for the legal paperwork for the release of Singapore to be tabled at that session.[18] In Singapore, Lee had asked then Law Minister E. W. Barker to draft the separation agreement at the end of July, along with other legal documents such as the Proclamation of Independence.[19]

As the deadline of 9 August neared, Goh and Barker made arrangements to travel to Kuala Lumpur to finalise the separation, arriving quietly in the capital on 6 August. Lee, who was in Cameron Highlands at that time, left for Kuala Lumpur and also arrived on 6 August to study and approve the separation documents. Thereafter, the separation draft prepared by Barker occupied the attention of five men – Razak, Malaysian Attorney-General Kadir Yusof, Malaysian Home Affairs Minister Ismail bin Dato Abdul Rahman, Barker and Goh. The final version, which included a few amendments and insertions, were typed late that night and signed by Goh, Barker, Razak, Ismail, Malaysian Finance Minister Tan Siew Sin and Malaysian Minister for Works V. T. Sambanthan well after midnight.[20]

After Lee was shown the final signed separation documents by Barker, he called Toh and Rajaratnam in Singapore to meet him the following morning. Arriving in Kuala Lumpur separately on 7 August, both Toh and Rajaratnam were particularly distraught when Lee told them of the news, and were not willing to sign the agreement.[21] However, a letter written by the Tunku to Toh stressing the former’s irrevocable decision – that there was “absolutely no other way out” – left them with no choice.[22] Realising that their persistence to pursue the status quo could well mean bloodshed, both Toh and Rajaratnam reluctantly signed.[23]

Lee then flew back to Singapore on 8 August on a Royal Malaysian Air Force (RMAF) jet so that he could get the separation agreement signed by the rest of his cabinet members. Two other individuals were called upon to assist with the task to meet the 9 August deadline: John Le Cain, the Police Commissioner, to ensure law and order, and Stanley Stewart, head of the Singapore Civil Service, to prepare and print the special gazette and proclamation of independence notices.[24] The Government Printing Office (GPO) had to recall its staff overnight, and to keep the lid on the separation, Stewart locked the GPO.[25] Encoded messages on the separation were also dispatched to the British, Australian and New Zealand prime ministers in the wee hours.[26]

Similarly in Kuala Lumpur on 8 August, things also moved swiftly as Razak had to ensure that everything was ready for the Tunku’s address to the federal parliament the following day, where he would move a bill to amend the constitution that would provide for Singapore’s departure from the Federation. Razak was also waiting for the fully signed separation agreement from Singapore to allay possible suggestions that Singapore was expelled from Malaysia. Only when the RMAF craft sent to Singapore to collect the document bearing the signatures of the entire Singapore cabinet arrived in Kuala Lumpur did he share the purpose of the 9 August parliament session with the chief ministers, mentri besars and state rulers in the Federation.[27]

The Birth of Singapore

The proclamation declaring Singapore’s independence was announced on Radio Singapore at 10:00 am on 9 August 1965.[28] Simultaneously in Kuala Lumpur, the Tunku announced the separation to the federal parliament. He then moved a resolution to enact the Constitution of Malaysia (Singapore Amendment) Bill, 1965, that would allow Singapore to leave Malaysia and become an independent and sovereign state. The bill was passed with a 126-0 vote and given the royal assent by the end of the day.[29] Singapore TV also aired the press conference called by Lee at 4:30 p.m.[30] During the press conference, Lee explained why the separation was inevitable despite his long-standing belief in the merger, and called on the people to remain firm and calm. Filled with emotions and his eyes brimming with tears, Lee had given Singaporeans a glimpse of their leader’s “moment of anguish”.[31]

Many rallied behind the news of the separation with relief although the manner of its announcement came as a shock and was initially greeted with disappointment and regret.[32] It was slightly less than two years ago that the people of Singapore had backed Lee’s merger through their votes in the September 1962 referendum.[33] However when merger came, the greater share of it was marked by constant differences and bitter political wrangling between leaders of the two nations.[34] Although all signs were pointing to trouble, very few were prepared for the dramatic end to Singapore’s union with Malaysia.

JULAU: The Sarawak For Sarawakians (S4S) team is touring the state to share the movement’s ideology and sell S4S merchandise.

S4S volunteers Beng Kor and Ting Ching Ing have been covering towns and settlements along the Rajang River. On their list are Sibu, Kanowit, Majan, Bintagor, Sarikei, Daro, Mukah, Selangau and Kapit.

“We are doing this for two purposes. One is to create awareness of Sarawak’s history and the referendum rights of Sarawakians,” Kor told the BAT Team here yesterday.

“The other purpose is to sell S4S souvenirs to help pay for travelling expenses incurred. And until now, business has been okay and we have been making enough to continue our journey.” According to him ‘Sarawak For Sarawakians’ is not a new slogan.

“Most Sarawakians resented joining Malaya to form the Federation of Malaysia. The Cobbold Commission, which surveyed only 2,000 people, did not represent what most people wanted,” he claimed.  He said Chief Minister Datuk Patinggi Tan Sri Adenan Satem is also moving towards greater autonomy by bringing up issues such as the oil royalty.

“He (Adenan) is doing this because he is responding to the voices of the Sarawak people. So are we,” said Kor.

Doris Jones is a member of the NLP’s National Executive. She was originally born in Sabah, North Borneo. Although she has lived in the UK for many years she is still concerned with, and campaigns under the banner of the Sabah Sarawak Union (SSU), for the rights of her compatriots in Sabah and next door Sarawak, presently under Malaysian (read Malayan) rule. Due in part to her and others call for Independence for those two countries, there has been an upsurge in Sabah and Sarawakan nationalism, often expressed in the flying of their national flag(s).

So concerned are the Malaysian authorities that they are now threatening to arrest activists under their notorious Sedition Act that originated in colonial times. The act criminalises speech with what is called a “seditious tendency”, for example that which would “bring into hatred or contempt or to excite disaffection against” the government.

In a modern democracy free speech is sacrosanct. Beyond inciting violence, orators can call for opposition to a government, its policies and even its right to govern parts of its territory. Alex Salmond and the SNP have never been arrested for calling for independence but it seems citizens within ‘Malaysia’ are. Below we reprint Doris’s response to the threat.

I was born in Sabah, North Borneo. I used to work for an Accountant and for an Australian Judge.

Life was and is more miserable in Borneo due to the Internal Security Act as orchestrated by the Federation of Malaysia Govt. In response I started to take a role as a moderator of SSKM- Sabah Sarawak Keluar Malaysia (‘Sabah Sarawak Leave Malaysia’) Facebook group for the purpose of running a campaign of awareness and education for the people of North Borneo.

After 3 years, I and my co-partner decided to register the group by the name of Sabah Sarawak Union (UK), under the United Kingdom’s Jurisdiction. Our campaign has grown in the last 4 years and more of our younger generations are rising up for our Nation. The senior citizens are only just beginning to stir and we hope more will too when they realise the truth about the status of North Borneo; hidden by Federal Govt of Malaysia for 51 years.

I, personally, do not agree with the Internal Security Act (Malaysia) and Seditious Act (Malaysia) which is a violation of Human Rights. I trust many of my Borneo Nation will agree with me.

In reaction to this campaign for awareness, against injustice and human rights violations, the Malaysian Government has decided to put my name onto the list of those falling under (committing an offence of) the Seditious Act. I am also disappointed that the High Commissioner of Police in Sabah has come out with a false statement that his team had tried to make contact to me for an investigation but had received no response? That was a lie. No ONE has contacted me in person or by any other means.

In this regard, I insist the Sabah Police High Commissioner, Datuk Jallaluddin or the representatives of the Malaysia Government e.g. the Malaysian Home Office Minister and Prime Minister, presents the alleged evidence and I will stand up in a United Kingdom court to challenge his and the Malaysia Government’s accusations. We should not be afraid of the truth and JUSTICE SHOULD NOT BE DENIED.

Mengapa anda mahu menentang perjuangan SSKM-SSU(UK) yang mahu mengembalikan kedudukan Negara Sabah dan Negara Sarawak ke tempat asalnya?

Negara Sabah atau dahulunya dikenali sebagai North Borneo dan Negara Sarawak pula dikenali sebagai Kingdom of Sarawak. Apa yang pihak SSKM-SSU(UK) lakukan kini hanyalah untuk mengembalikan kedudukan asal Negara kita. Bukan kita tidak pernah berdiri sendiri. PERNAH! Kita hanya mewujudkan semula Identiti Negara kita sebenar-benarnya!

Apabila pihak SSKM-SSU(UK) katakan yang kita bakal menggunakan matawang "Dolar", mengapa ramai yang ragu-ragu? Dahulunya matawang negara Sabah (North Borneo) ialah North Borneo Dollar manakala Negara Sarawak ialah Sarawak Dollar. Bukan kita tidak pernah ada matawang dahulu. PERNAH! Kita hanya mewujudkan semula matawang kita!

Bercakap mengenai isu keselamatan yang melibatkan polis dan ketenteraan untuk menjaga Negara Sabah dan Negara Sarawak, pihak SSKM-SSU(UK) berulang kali mengatakan bahawa kita boleh dan mampu untuk mewujudkan barisan pertahanan kita iaitu Polis dan Tentera kerana sememangnya dahulu kita memang ada Pasukan Polis dan Tentera sendiri yang menjaga keselamatan dan kedaulatan negara. Bukan tidak pernah tapi faktanya memang PERNAH! Kita hanya mewujudkan semula barisan pertahanan kita semula!

Apa lagi???

Masih tidak faham???

Kalau sudah faham, sebarkan...
Kalau tidak, bincangkan...

Mereka tidak tergolong dalam mana-mana parti politik, dan berumur antara 25 dan 32 tahun, keempat-empat lelaki yang didakwa menghasut di Kota Kinabalu Isnin lalu kini mewakili wajah orang muda yang berjuang untuk apa yang mereka percaya merupakan hak negeri yang hilang dalam Perjanjian Malaysia.

Mereka menghadapi tuduhan memiliki bahan menggesa Sabah dan Sarawak meninggalkan Malaysia ketika ditangkap di pasar minggu Tuaran pada 1 Februari.

Mereka ialah penganggur Azrie Situ, 25, dan Jemmy Liku Markus Situ, 32, mekanik Erick Jack William, 29, dan pemandu pelancong Joseph Kolis, 29.

“Begitulah trendnya di Sabah sekarang,” presiden Sabah Progressive Party (SAPP) Datuk Seri Yong Teck Lee memberitahu The Malaysian Insider.

“Orang muda dari latar belakang berbeza yang tidak memihak kepada mana-mana parti politik sekarang memperjuangkan isu yang biasanya diperjuangkan pembangkang."

Bekas ketua menteri Sabah itu berpendapat, trend itu berpunca daripada kesedaran yang meningkat di kalangan pemuda Sabah mengenai sejarah negeri mereka.

"Sejarah yang mereka mula pelajari sekarang tidak terdapat dalam buku teks sekolah. Apa yang mereka temui ialah kerajaan (persekutuan) yang terus-terusan dan terang-terangan tidak mempedulikan Perjanjian Malaysia," kata Yong ketika ditemui baru-baru ini.

Katanya, kesedaran itu kini bertukar menjadi kemarahan dan kebencian, serta menimbulkan keperluan untuk mereka berjuang menuntut hak mereka.

"Pada masa lalu, kerajaan boleh menyuakan kepada rakyat apa sahaja maklumat yang mereka mahu berikan kerana mereka mengawal TV dan radio, tetapi zaman Internet sekarang, ia makin sukar dilakukan.

"Dari Internetlah anak muda Sabah ini mula mengetahui tentang ketidakadilan yang diterima Sabah."

Ahli Parlimen Barisan Nasional (BN) Kalabakan Datuk Seri Abdul Ghapur Salleh ketika memberi amaran ke Putrajaya supaya menjaga kebajikan rakyat Sabah di Parlimen pada Isnin, memberi kredit kepada dakwaan Yong apabila beliau mengatakan belia Sabah, termasuk anak-anaknya, tidak lagi membaca akhbar arus perdana kerana ia dianggap pro-kerajaan, dan sebaliknya memilih laporan berita atas talian.

"Orang tuduh Internet ini penuh dengan penipu. Tetapi belia ini berpendidikan tinggi! Mereka boleh membezakan pembohongan dengan kebenaran."

Empat mereka itu merupakan antara 9 yang ditahan polis di pasar itu – digelar Tuaran 9 oleh media tempatan.

Mereka didakwa dan dibebaskan dengan ikat jamin RM20,000 dan seorang penjamin, sementara 5 yang lain dibebaskan dengan jaminan polis, tetapi tidak pasti jika mereka juga akan didakwa.

Menurut laporan, terdapat "ramai lagi" anak muda yang pergi ke pasar itu untuk menjayakan apa yang didakwa "kempen mengutip tanda tangan" memaksa Putrajaya menghormati Perjanjian Malaysia.

"Adakah satu hasutan mendapatkan tandatangan menuntut kerajaan pusat mengkaji semula Perjanjian Malaysia?" soal Joseph.

"Polis kata kami anggota SSKM (Sabah, Sarawak Keluar Malaysia). Mana mungkin, kerana SSKM ialah laman Facebook. Bagaimanakah kami boleh jadi anggota laman Facebook? Ia bukan satu pertubuhan bukan kerajaan (NGO)," kata Joseph.

Katanya, beliau menganggap penahanan mereka dan dakwaan yang dikenakan terhadap mereka di mahkamah satu "gangguan polis" terhadap mereka yang lantang mahukan perjanjian itu dikaji semula, dakwaan yang disokong bekas wakil rakyat BN Datuk James Ligunjang.

"Kami bukan puak pemisah dan tidak pernah berjuang untuk pemisahan," kata Joseph.

"Apa yang kami mahu hanya supaya Putrajaya menghormati Perjanjian Malaysia dan memberi kami autonomi sebagai sebuah negeri rakan kongsi yang sama rata dalam persekutuan.

"Kami berjuang untuk autonomi, autonomi penuh. Bukan pemisahan.

"Polis yang sebenarnya cuba kaitkan kami dengan kumpulan pemisah melalui laman Facebook."

Joseph berkata sekiranya polis tidak menyerang mereka, “kami boleh dengan mudah dapat 300,000 orang” menandatangani petisyen kajian semula itu.

“Senang saja, di kalangan orang muda di Sabah,” katanya.

Ligunjang, yang putus asa dengan politik BN dan kini bergerak sepenuh masa sebagai aktivis sosial, sedang berusaha mendapatkan sokongan untuk menekan Putrajaya supaya menghormati Perjanjian Malaysia. Katanya, beliau juga diserang pihak polis kerana usahanya itu. 

Beliau mendakwa polis bulan lalu menyita dan merampas kira-kira 31 pasang baju-T dengan perkataan "Hormati Perjanjian Malaysia" daripadanya di bandar Lahad Datu.

Cara polis mendakwa 4 mereka di mahkamah juga dipertikaikan.

Yong, seorang peguam, mempersoalkan mengapa kertas pertuduhan itu tertulis "Mahkamah Tanah Melayu" apabila ia sepatutnya dibuat atas borang Mahkamah Borneo memandangkan mahkamah Sabah dan Sarawak berada di bawah mahkamah Borneo.

Pada masa yang sama, keempat-empat lelaki itu mempersoalkan mengapa pihak polis memaklumkan mengenai keperluan mereka hadir di mahkamah melalui satu kertas nota yang diconteng.

"Mereka tidak ada notis yang elok kah?" soal Jeremy.

Didakwa mengikut Seksyen 4 (2) Akta Hasutan 1948, mereka menghadapi hukuman denda tidak lebih RM2,000 atau penjara tidak melebihi 18 bulan atau kedua-duanya jika sabit kesalahan. – 22 Mac, 2015.

1.    Doktrin Blok Ideologi Yang Mengerikan

Tulisan ini cuba mempromosikan suatu wacana yang berhubung dengan paradigma politik bernegara Borneo (Sabah Sarawak) dalam konteks Gagasan Malaysia, iaitu tentang tatacara bermasyarakat dan berkerajaan bersama dengan Malaya yang bergabung sejak 16 September 1963.

Dalam konteks Sabah, penduduk Sabah hari ini terbahagi kepada dua blok ideologi besar. Pertama adalah mereka yang mahu melindungi dan mempertahankan kedaulatan kuasa memerintah Sabah dari sudut orang asal yang majoritinya terdiri daripada mereka yang sama ada Non-muslim atau masih Pagan.

Kedua adalah mereka yang mahu mengekalkan kelangsungan dominasi kuasa ketuanan Malaya di Sabah yang kononnya demi kewujudan kerajaan Sabah yang berteraskan Islam, yang juga majoritinya terdiri daripada mereka yang Muslim.

Persoalannya ialah, benarkah bahawa blok ideologi yang kedua tersebut di atas betul-betul mahukan ketuanan Malaya atau sekadar akibat akhir dari kegagalan mutlak dalam memahami konsep politik berbangsa, bernegara dan berkerajaan dari sudut nasionalisme dan patriotisme orang asal tanpa mengambil kira susun galur leluhur darah Sabahan?

Perlu dijelaskan bahawa, saya bukan orang politik yang juga hanya laksana sebutir pasir di Borneo. Namun begitu, saya sering berkata agar pengamal politik Sabahan bersikap dedikasi dalam melihat keseluruhan Sabah dari sudut nasionalisme dan patriotisme bangsa-negara Sabah dengan mengambil kira sejarah dan susun galur leluhur masa silam Sabahan.

Maksudnya, menjunjung ungkapan “Demi Bangsa-Negara Sabah” hendaklah mendahului ungkapan “Demi Parti Politik” apatah lagi parti politik ‘Made In Malaya’ yang sedang menindas, disamping telah mengkhianati hak dan kedudukan Sabah dalam Malaysia lebih setengah abad yang lalu,  sehingga membawa kepada pembahagian penduduk Sabah ke dalam dua blok ideologi besar yang saling bertentangan.

Apapun, implikasi pertembungan kedua-dua blok ideologi besar yang dimaksudkan akan membelah diri Sabahan daripada jalur pemikiran damai kepada jalur pemikiran sengketa berpanjangan yang amat suram dan begitu merugikan dalam konteks satu komuniti identiti bangsa-negara Sabah yang tidak lagi harmoni di masa hadapan.

Dalam erti kata lain, tidak lagi berpandukan kepada garis hidup aman damai dan sentosa yang diinginkan dan yang diwariskan oleh leluhur masa silam Sabahan, sehingga garis hidup mereka tidak lagi dapat dipertahankan untuk gagal dihantar kepada generasi yang akan datang.

Sehubungan itu, apa yang sangat membimbangkan dan bahkan paling mengerikan jika pemecahan penduduk Sabah kepada dua blok ideologi besar doktrin Malaya ini, ada kemungkinan untuk bakal menghantar generasi Sabahan di masa yang akan datang ke lembah permusuhan berdarah atas nama fanatik agama dan sentimen kaum sebagaimana sengketa seumpamanya di negara-negara timur tengah.

2.    Konsep Politik Bernegara

Definisi 'politik' yang paling mudah difaham adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan yang berhubung dengan bentuk suatu pemerintahan atau dasar pemerintahan sesebuah negara. Dengan kata lain, bentuk pemerintahan yang digunakan dalam mentadbir sesebuah negara (negara Sabah contohnya) dari sudut paradigma falsafah politik.

Buku ‘Politik’ karya Aristotle (350SM) terjemahan Benjamin Jowett, merupakan titik asas yang membahaskan kehidupan konsep politik bernegara, khususnya politik negara barat. Buku ‘Politik’ merupakan karya pertama yang membincangkan secara mendalam dan terperinci mengenai bentuk-bentuk pemerintahan dan kehidupan berpolitik sesebuah negara.

Menurut Aristotle, bentuk negara yang baik adalah polisi negara yang berdasarkan kepada ‘kepentingan umum dan setiap individu’. Sedangkan bentuk pemerintahan yang hanya berdasarkan kepada unsur penguasa elit adalah bentuk pemerintahan yang buruk.

Menurut Aristotle, bentuk pemerintahan yang baik adalah Monarki, Aristokrasi dan Politeia. Sedangkan bentuk pemerintahan yang buruk adalah Tirani, Oligarki dan Demokrasi.

Namun begitu, Monarki dianggap sebagai pemerintahan yang baik hanya jika raja yang memimpin adalah orang yang berdasarkan kepada pengalaman yang dimilikinya yang sentiasa bertindak atas dasar perkara yang bijaksana (falsafah). Tetapi, untuk mencari orang seperti yang dimaksudkan adalah sesuatu yang sukar, kerana monarki juga terdedah kepada bentuk kezaliman dan penindasan.

Menurut Aristotle, Aristokrasi merupakan satu bentuk yang lebih baik dari Monarki. Sebab, dalam Aristokrasi pemerintahan tidak hanya dikendalikan oleh satu orang, melainkan oleh sekumpulan orang yang mempunyai sifat yang baik.

Namun begitu, hampir menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk mencari sekumpulan orang seperti yang dimaksudkan. Sehingga bentuk Aristokrasi besar kemungkinan akan jatuh juga ke lembah bentuk Oligarki akhirnya. Justeru, menurut Aristotle Politeia (pemerintahan yang dipegang oleh seluruh rakyat untuk kepentingan umum) adalah bentuk pemerintahan yang paling baik. Sebab, dalam Politeia setiap individu berkuasa atas sesamanya dan begitu juga sebaliknya.

Dengan kata lain, kuasa pemerintahan terletak di tangan khalayak umum. Namun begitu, yang membezakan ‘Politeia’ dengan ‘Demokrasi’ adalah bentuk demokrasi yang lebih sederhana kerana kebebsannya di ikat oleh ‘Perlembagaan’ yang menjadi acuan kepada pelaksanaan sistem pemerintahan bernegara.

Menurut Aristotle, yang menjadi landasan paling asas sistem demokrasi adalah kebebasan, dan salah satu prinsip kebebasan adalah setiap individu mempunyai peluang yang sama untuk memerintah secara bergilir-gilir. Namun begitu, permasalahannya adalah jika kebebasan diberikan kepada setiap individu, tentunya akan berlaku pertembungan maksud dari kebebasan individu. Yang demikian, akan muncul persoalan kehendak siapa yang menjadi acuan bersama?

Justeru, Aristotle berpendapat bahawa, yang menjadi acuan bersama adalah apa yang dikatakan sebagai kehendak bersama. Aristotle melihat bahawa, kewujudan orang miskin jauh lebih ramai dari orang kaya. Justeru, hampir dapat dipastikan atau boleh diagak bahawa, yang akan menjadi acuan bersama adalah apa yang menjadi kehendak dari orang miskin.

Lantaran itu, Aristotle mencadangkan, agar setiap individu mesti hidup sesuai dengan kehendaknya. Ertinya, setiap individu perlu diberikan kebebasan dalam menentukan hidup tanpa mendapat kawalan dari orang lain, kerana apabila individu tidak boleh hidup mengikut kehendaknya sendiri, maka kehidupan akan menjadi sama saja dengan hamba.

Oleh itu, muncul anggapan bahawa setiap individu tidak boleh dikuasai oleh orang lain. Maka, setiap individu diberikan peluang untuk menguasai dan dikuasai. Dengan kata lain, prinsip kebebasan yang didasarkan kepada asas persamaan dalam bermasyarakat, bernegara dan berkerajaan dalam erti kata demokrasi yang mengutamakan sikap saling hormat-menhormati dan lindung-melindungi dalam lima bentuk demokrasi.

3.    Bentuk-Bentuk Demokrasi

Pertama, orang miskin tidak mendapat keuntungan dari orang kaya, namun di antara keduanya tidak ada yang boleh menjadi tuan atau hamba, melainkan keduanya sama. Prinsip yang digunakan untuk mewujudkan asas persamaan yang ada dalam demokrasi adalah dengan cara saling berkongsi. Oleh itu, yang menjadi penentu dalam konteks demokrasi adalah kehendak majoriti;

Kedua, pemerintah dipilih berdasarkan kepada kelayakan tertentu, dalam erti kata pemilikan yang terbatas. Ertinya, pemilikan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dimiliki oleh sedikit orang, sehingga menjadi lebih mudah dalam menentukan siapa yang memerintah. Contohnya, pemilikan harta kekayaan. Individu yang mempunyai harta akan diberikan peluang dalam mengambil bahagian dalam pemerintahan, sedangkan mereka yang tidak memilikinya akan kehilangan hak-haknya.

Ketiga, setiap individu yang tidak kehilangan kelayakan tersebut memperoleh kesempatan untuk turut serta dalam pemerintahan, namun statusnya masih di bawah undang-undang yang menjadi kedaulatan tertinggi. Ertinya, setiap individu atau golongan termasuk kerajaan, statusnya tetap terikat oleh undang-undang yang berlaku.

Keempat, setiap individu yang berstatus warganegara mempunyai peluang yang sama untuk melibatkan diri dalam pemerintahan, namun perlembagaan atau undang-undang tetap menjadi sandaran yang paling tinggi.

Kelima, semua aspek dari demokrasi yang sebelumnya tetap sama keadaannya, namun yang menjadi sandaran tertinggi bukanlah undang-undang, melainkan rakyat sendiri. Kedudukan rakyat berada di atas undang-undang. Namun begitu, bentuk negara yang seperti yang dimaksudkan sangat terdedah kepada gangguan demagog (penghasut). Kerana pemerintah demagog sendiri yang kemungkinan menyebarkan pelbagai isu negatif yang membuatkan keadaan sosial dan negara kacau-bilau.

4.    Pemeringkatan Golongan Sosial

Menurut Aristotle, dalam sebuah negara terdapat tiga peringkat golongan sosial, pertama golongan sosial yang kaya; kedua golongan sosial yang miskin; dan ketiga golongan sosial yang pertengahan.

Menurut Aristotle, dalam sebuah negara golongan kaya akan memandang remeh prinsip rasional kerana beranggapan bahawa, diri mereka di atas prinsip rasional. Oleh itu, golongan kaya sangat sukar untuk mentaati peraturan kerana menganggap diri mereka mempunyai kelebihan yang tidak perlu mengikat diri mereka kepada peraturan yang ada.

Manakala golongan miskin pula dikatakan sebagai sukar untuk mengikuti prinsip rasional dan peraturan kerana pemikiran mereka dianggap singkat dan terhad.

Yang demikian, ideal komposisi sosial yang paling baik adalah golongan pertengahan, kerana golongan pertengahan lebih mudah untuk menyesuaikan diri kepada prinsip rasional. Justeru, golongan yang boleh diharap dalam mentaati gugusan peraturan adalah golongan pertengahan.

Sehubungan itu, Aristotle percaya bahawa, negara demokrasi lebih baik dari negara oligarki kerana disebabkan oleh faktor kehadiran golongan pertengahan jika lebih ramai dalam negara demokrasi. Tetapi, jika golongan menengah tidak bersifat dominan berbanding golongan miskin, maka negara ada kemungkinan untuk jatuh ke lembah kekacauan, bahkan negara mungkin akan berakhir.

Lantaran itu, maka dalam konteks bangsa-negara Sabah semenjak 1976 hingga kini, pada dasarnya status negara Sabah yang ditubuhkan pada 20 Mei 1882 sudah hancur dan berakhir untuk menjadi negeri ke-12 Malaya atas nama Malaysia yang dibentuk pada 16 September 1963.

5.    Gagasan Malaysia Di Persada Sejarah

Sesungguhnya negara-negara (Sabah, Sarawak dan Malaya) yang membentuk Malaysia mempunyai akar dalam apa yang disebut sejarah. Sejarah menurut Herodotus adalah kesan tindakan manusia; sejarah menurut Ibn Khaldun adalah cerita tentang tindakan manusia; dan saya percaya bahawa sejarah adalah sarjana agung dalam kehidupan yang tidak pernah berbohong kerana sejarah adalah lidah kebenaran.

Apapun, Sabah, Sarawak dan Malaya dalam lintasan sejarah moden telah ditubuhkan menjadi sebuah negara yang wujud sistem pemerintahan sendiri yang tiada kaitan sebelum bergabung pada 16 September 1963 atas nama Malaysia:

Sarawak ditubuhkan pada 24 September 1841 dan telah dimerdekakan oleh United Kingdom pada 22 Julai 1963; Sabah pula ditubuhkan pada 20 Mei 1882 dan telah dimerdekakan oleh United Kingdom pada 31 Ogos 1963; dan Malaya ditubuhkan pada 31 Januari 1948 dan telah dimerdekakan oleh United Kingdom pada 31 Ogos 1957.

Lantas, ketiga-ketiga negara yang merdeka ini telah bergabung dalam ‘Gagasan Malaysia’ berdasarkan kepada terma dan syarat yang terkandung dalam perjanjian 18/20 Perkara di antara Sabah, Sarawak dan Malaya serta Perjanjian Berkenaan Dengan Penubuhan Malaysia 1963 yang dimuktamadkan pada 16 September 1963.

6.    Visi, Misi Dan Objektif Gagasan Malaysia

VISI : Mewujudkan satu bentuk penyatuan ekonomi dan politik yang melibatkan Malaya, Singapura, Brunei, Sabah dan Sarawak.

MISI : Mewujudkan kerjasama antara penduduk Malaya, Singapura, Brunei, Sabah dan Sarawak dengan kerajaan British dalam menjayakan pembentukan gagasan politik baru di Asia Tenggara.

OBJEKTIF : Menyekat pengaruh komunis; mengimbangi jumlah penduduk; meningkatkan kemajuan ekonomi; mempercepat kemerdekaan Borneo dan Singapura; dan menjaga kepentingan kaum penduduk asal (bumiputera).

7.    Kesabaran Sabah Sarawak Di Batas Akhir

Dalam sejarah, Gagasan Malaysia dibentuk melalui kuasa pujuk rayu Malaya dalam suatu proses yang panjang. Namun, sesudah Sabah Sarawak masuk “bubu Malaya” lantas kuasa gertak dan sentimen agama diangkat dan dimainkan untuk memecahkan penduduk Borneo khususnya rakyat Sabah sehingga terbelah kepada dua blok ideologi besar dalam konteks Islam dan Kristian yang secara terang-terangan melanggar dan mencabul terma dan syarat perjanjian 18/20 Perkara di antara Sabah, Sarawak dan Malaya.

Oleh itu, demi maruah nenek moyang, harga diri Sabah Sarawak dan generasi yang akan datang keduanya, maka kesabaran Sabahan Sarawakian kini di batas akhir untuk bangun melindungi “kedudukan, hak dan masa depan” dalam Malaysia untuk melawan balik serangan kejam penindasan politik dan ekonomi oleh Malaya ke atas rakyat Sabah Sarawak disebalik topeng Malaysia.

Sesungguhnya sikap dan tindakan Malaya dalam melanggar, mencabul, mengkhianati dan memijak “Perjanjian 18/20 Perkara dan Malaysia Agreement 1963” yang menjadi terma dan syarat kepada penubuhan Malaysia atau pengwujudan Malaysia seolah-olah Malaya bukan lagi rakan kongsi Sabah Sarawak yang setara atau sama taraf dalam Malaysia, melainkan penjajah, penindas dan perompak kepada Sabah Sarawak atas nama Malaysia!

Pecutan penduduk Sabah yang tidak masuk akal contohnya, yang juga dikaitkan dengan IC Projek Malaya kepada Pendatang Tanpa Izin (PTI) untuk menjadi melayu baru, di samping senario keputusan RCI yang masih tidak didedahkan telah meletakkan rakyat Sabah pada posisi semangat nasionalisme tinggi lantaran mengambil kira masa depan generasi mereka di masa hadapan. Dalam erti kata lain, bukan hanya kaum melayu Malaya yang perlu hidup, tetapi rakyat Sabah Sarawak juga perlu hidup.

Dengan kata lain, sesungguhnya pelanggaran Malaya terhadap 18/20 Perkara dan Perjanjian Penubuhan Malaysia 1963 akan melahirkan tindak balas Sabah Sarawak untuk tidak mahu berputih mata kepada Malaya demi “kebenaran sejarah, hak ekonomi, status negara dan masa depan” Sabah Sarawak dalam Malaysia.

Malaya mungkin inginkan Sabah Sarawak berputih mata sesudah bersetuju bergabung dengannya atas nama Malaysia, tetapi ingat, putih mata bukan prinsip aspirasi penubuhan Malaysia dalam erti kata visi, misi dan objektif pembentukan Malaysia pada 16 September 1963.

Bahkan, pembentukan Malaysia lebih kepada membantu meyelesaikan masalah peribadi Malaya atas nama Malaysia khususnya yang berhubung dengan perseimbangan kaum. Namun, pertolongan Sabah Sarawak dibalas dengan konsep penaklukan oleh Malaya atas nama Malaysia tanpa pengisytiharan penjajahan sejak lebih setengah abad yang lalu.

Dengan kata lain, sudah lebih setengah abad Sabah Sarawak sabar dan tabah hidup dalam penindasan Malaya dalam bidang politik dan ekonomi sehingga walaupun kaya dan banyak hasil, namun termiskin dalam Malaysia ‘bak tikus mati di lumbung padi, bak ayam di kepuk mati kelaparan dan bak itik di air mati kehausan’.

Sesungguhnya Sabahan hari ini adalah monumen bagi Sabahan masa silam; dan Sabahan di hari esok adalah monumen bagi Sabahan hari ini. Justeru, Sabahan hari ini mesti bersatu menggilap monumen harapan Sabahan masa silam agar dapat dihantar kepada generasi Sabahan yang akan datang dengan selamat.

Sehubungan itu, maka cabaran terbesar nasionalis Sabahan hari ini adalah mendepani pengkhianatan terkutuk regim Malaya dalam konteks pemberian jutaan IC Projek kepada PTI menjadi "melayu baru" dalam erti kata menjual maruah kedaulatan kemerdekaan Sabah kepada PTI untuk kepentingan Malaya dalam menjajah, menindas dan merompak sabah.

Yang demikian, seluruh Sabahan mesti serius dan dedikasi bangun berdiri dan seiring melangkah dengan sederap rentak dalam erti kata bersatu melaungkan semboyan menuntut Malaya dan dunia agar semua PTI yang menjadi Pendatang Asing Tapi Ada IC (PATAI) dihantar ke Malaya kerana secara benarnya mereka adalah warganegara Malaya di Sabah yang taat setia kepada Malaya dan ingin bertuankan Malaya.

8.    PUDI Jalan Mati Borneonisasi

Tatkala Malaya sudah menganggap atau berlagak dirinya Malaysia, dan mengatasnamakan kerajaan Pusat Dan Integrasi nasional (PUDI) sebagai penanda halal kepada semua tindakannya dalam merompak dan merampas secara besar-besaran hak Sabah Sarawak dalam Borneonisasi yang terkandung dalam perjanjian 18/20 Perkara, maka buta-buta saja Sabah Sarawak kehilangan segala-galanya kepada Malaya.

Yang demikian, PUDI adalah jalan mati Borneonisasi sehingga Sabahan dan Sarawakian terpaksa menyembah dan mengemis kepada Malaya untuk mendapatkan sedikit sisa dari saki-baki jawatan rendah yang terdapat di dalam jabatan-jabatan dan lembaga-lembaga kerajaan yang pada hakikatnya adalah hak milik Sabah Sarawak dalam konteks Borneonisasi.

Justeru, sesungguhnya pencerobohan dan pencabulan Malaya terhadap maruah kemerdekaan Sabah Sarawak tidak akan meninggalkan memori manis, selain memori pahit buat Sabahan dan Sarawakian pada masa hadapan. Lantaran itu, bagi generasi Sabahan dan Sarawakian untuk beribu-ribu tahun dalam perjalanan abad di masa akan datang, tiada seorang pun daripada kita pada masa ini, yang akan tahu nasib sedih yang akan menimpa mereka, kerana kita tidak akan bertemu dengan mereka untuk menyaksikan kehidupan mereka.

Oleh itu, seluruh Sabahan dan Sarawakian hari ini yang masih hidup wajar membuktikan diri sebagai seorang pejuang untuk memori pengorbanan dalam memegang impian dan harapan manis kewujudan generasi bangsa-negara Sabah Sarawak di masa yang akan datang di dunia ini.

Sesungguhnya Sabahan dan Sarawakian sudah kehilangan satu generasi yang tidak dapat menikmati erti sebenar kedaulatan kemerdekaan akibat penilaian yang koyak daripada keputusan yang dicapai dalam pandora mentaliti hamba angkara aspirasi abadi ingin bertuankan Malaya yang begitu jauh tersasar dan terbabas dari landasan visi, misi dan objektif penubuhan Malaysia sehingga maruah Sabah Sarawak akhirnya terkorban di muara penghinaan suram dalam sejarah yang dipalsukan.

Kebangkitan Karma Kesedaran,
Kekuatan Karma Kesatuan,
Rakyat Seborneo Bersatulah!

- Naspazi (12 September, 2014)

Saya menyambut baik cadangan Doris Jones untuk membawa Sabah Sarawak untuk keluar dari Malaysia. Bagi saya, ayat yang seawalnya ialah untuk membawa Sabah Sarawak untuk keluar dari Malaya dan bukannya Malaysia. Sebaliknya, JIKA Perjanjian-Perjanjian yang telah dimateraikan semasa persetujuan menyertai Pembentukkan Malaysia gagal didengar dan dihormati dan beserta dengan Hak-Hak atau Perkara yang dimaktubkan diabaikan, MAKA Sabah Sarawak patut bersetuju untuk bersama sama keluar sahaja dari Malaysia.

Perjuangan untuk membawa Sabah Sarawak untuk keluar daripada jajahan Malaya semestinya memakan masa yang sangat lama,saya katakan akan ada banyak tentangan dan halangan yang bakal menanti di hadapan.

Bagi saya cabaran dan halangan yang paling mencabar usaha kita dalam perjuangan ini ialah; Memupuk kesedaran dan kebangkitan Nasionalisma secara keseluruhan Bangsa-Bangsa Borneo. Sukarelawan mungkin berjaya merancakkan petisyen dengan mengumpulkan tandatangan orang-orang kampung namun sejauh manakah tahap kesedaran dan keyakinan mereka (orang-orang kampung) terhadap tugas-tugas dan tanggungjawab yang bakal mereka pikul selepas menurunkan tandatangan. Bersediakah mereka-mereka ini?

“Kertas putih yang beserta tandatangan itu hanya akan menjadi kesia-siaan kepada Bangsa-Bangsa Borneo yang tidak ikut serta berjuang”

Tidak keterlaluan juga kalau saya nyatakan di sini bahawa Bangsa-bangsa Borneo harus memiliki dan mengalami kebangkitan secara besar-besaran seperti yang pernah dilakukan oleh para tua-tua dahulu. Walaupun kita akan bakal menyaksikan sekali lagi rusuhan (Riots) diadakan di jalan raya, perhimpunan-perhimpunan aman (Peaceful Assembly) di mana-mana,juga adakan mogok lapar (Hunger Strike). Kebangkitan yang bukan sengaja diada adakan tetapi sememangnya ini yang rakyat mahukan, seringkali kita mencuba untuk bertoleransi dengan keadaan yang berlaku di sekeliling kita, kita masih bersifat mendiamkan diri dan cuba untuk mengalah dengan keadaan. Kerana rakyat bersikap naif untuk mengambil tindakan drastik melawan melalui pemberontakkan dan kekacauan (The Revolt and Chaos).

Seperti yang saya katakan tadi,perjuangan ini akan mengambil masa yang sangat panjang untuk direalisasikan. Sementara perjuangan ini diteruskan oleh generasi muda dan tua, adakah kamu terfikirkan sejenak bagaimanakah nasib anak-anak kecil yang bersekolah di kawasan pedalaman yang masih meneruskan penghidupan yang selalu mengundang rasa simpati dan belas kasihan. Mereka ini yang terpaksa kita korbankan masa depan mereka JIKA kesedaran 1 minit yang hilang begitu saja selepas turunkan tandatangan di atas kertas,dan tidak diteruskan .

Kita teruskan kehidupan kita dengan berjuang setiap hari menuntut keadilan, dan hak-hak yang telah diabaikan oleh Malaya, sementara itu pengabaian terhadap hak-hak anak-anak kecil di kawasan pedalaman saban hari dipinggirkan.Jangan harapkan pemimpin-pemimpin untuk turun dan masuk perkampungan,melalui hutan belantara yang sudah separuh botak,menginjakkan kaki atas tanah merah becak sudah berpuluhan tahun tidak diaspalkan, untuk melihat keadaan infrastruktur pondok-pondok sekolah yang sepatutnya sudah layak diletakkan di muzium Negara untuk tatapan seluruh dunia.

Walaupun kita masih melalui kehidupan yang tidak memberangsangkan dengan keadaan ekonomi yang tidak pernah kekal bertumbuh, keadaan sosio-ekonomi yang tidak teratur dan pengurusan perjalanan politik yang tidak pernah berkesudahan baik bermula daripada era Tun Mustapha pemimpin tempatan memerintah,dan, kita terus terusan menyalahkan pucuk pimpinan pemimpin terdahulu terhadap pergolakkan politik yang kita hadapi sekarang.

Saya yakin bahawa bukan kita di Sabah dan Sarawak sahaja yang mengalami situasi politik yang sedemikian rupa,banyaknya Negara-Negara Asia juga turut menyaksikan pergolakkan politik saban hari,Negara-Negara Demokrasi yang masih merasakan bahawa demokrasi (Democracy) masih belum diamalkan sepenuhnya,Hak-hak asasi manusia (The Human Rights) dipinggirkan,pemimpin-pemimpin kerajaan yang korupsi,konflik bawah kontrak sosial (Social Contract) dan sebagainya.

Secara keseluruhan Bangsa-Bangsa di Negara Asia mengalami pergolakkkan politik beserta susun atur entity masyarakat yang masih melalui krisis sosio-ekonomi sebagai akibat kesan penjajahan dan saki baki pentadbiran British yang masih berbekas walaupun sejurus selepas kemerdekaan diberikan kepada Bangsa-bangsa Borneo terutamanya. Bagi Sabah dan Sarawak apalah erti di sebalik Kemerdekaan yang dikecapi jika terus menerus hidup dalam penaklukan Malaya yang kian menghampiri dua generasi hidup dalam tahun-tahun kegelapan.

Saya mahu membawa anda semua iaitu Bangsa-bangsa Borneo untuk berjuang juga untuk memperbaiki sistem kemanusiaan kita, memperbaiki persekitaran kehidupan anak-anak kecil yang kita secara tidak sedari kita meminggirkan keperluan dalam memperbaiki situasi kehidupan dan akhlak mereka kerana kita sibuk untuk mengejar perubahan dan pembebasan daripada kolonisma Malaya. Apa yang saya maksudkan di sini ialah lebih banyak sukarelawan (volunteers) yang masuk ke dalam kawasan-kawasan pedalaman untuk membuat aktiviti kemanusiaan yang dapat mendidik dan membuka minda mereka. Ajarkan anak-anak kecil ini tentang sejarah-sejarah Borneo (Sabah Sarawak), tanamkan slogan “Sabah untuk orang Sabah” (Sabah for Sabahan).

Lihat kepada jiran-jiran Negara Asia kita,mereka berusaha untuk memperbaiki institusi kemanusiaan melalui anak-anak kecil yang dipinggirkan jauh di kawasan pedalaman,yang duduk di luar jangkauan manusia moden. Mereka menubuhkan sendiri kumpulan yang akan bergerak secara sukarela untuk menjangkau anak-anak sekolah, memberikan mereka dorongan dan sokongan moral,membantu membentuk entiti diri mereka. Jangan kita harapkan usaha kerajaan untuk datang menjangkau anak-anak kecil generasi kita kerana kita orang asal lebih memahami keperluan nilai moral (Morale Values) dan semangat (Spiritual) mereka. Bahawa kita yakin mereka ini yang akan kita tinggalkan untuk pembelaan masa depan Bangsa-Bangsa Borneo.

“Suatu ketika dahulu mendiang Datuk Peter Mojuntin seringkali menempatkan diri beliau bersama sama dengan orang kampung, kerana beliau berpendapat bahawa hanya dengan masuk ke dalam kawasan perkampung, menempatkan diri bersama sama dengan masyarakat maka dia akan dapat mengenal pasti masalah yang mereka hadapi. Beliau tahu bahawa tidak akan ada orang luar yang betul-betul mahu membela nasib dan penghidupan orang-orangnya selain daripada diri sendiri atau orang asal”.

Kita masih belum kehilangan semangat yang ditinggalkan oleh beliau. Ia masih ada dan tinggal bersama sama dengan kita semua,semangat “Anak Emas Kadazan” kerana kita masih berharapkan dan mahukan matlamat yang sama iaitu keadilan (Justice), kesamarataan (Equality) dan kemudahan pendidikan yang lebih baik (Better Educational Facilities) untuk anak-anak kecil dan kita perjuangkan melalui satu suara.

“Kita mahu menyelesaikan konflik dan permasalahan ini dengan menjentik perbezaan budaya dan bangsa asal orang borneo dengan itu maka kita semua disatukan dan berjuang untuk matlamat yang sama”.

Selama 51 tahun, kita diberitahu bahawa Malaysia merdeka pada 31hb Ogos 1957. Itu adalah fakta yang menyeleweng sebab Perjanjian Malaysia yang melibatkan Kerajaan Malaya, UK, Singapura, Sabah dan Sarawak hanya ditandatangani pada 9hb Julai 1963.

Pemashyuran Malaysia sebagai sebuah Persekutuan baru pula telah dibuat dengan rasmi pada 16hb Sept. 1963. Malaysia adalah gabungan 4 wilayah, yang dibentuk bersama secara rakan kongsi sama rata, dan semua wilayah itu pula mengekalkan kemerdekaan masing-masing.

Malaysia bukanlah sebuah negara yang dimerdekakan, tapi sebuah Persekutuan yang dibentuk bersama melalui suatu perjanjian.

Cadangan membentuk Malaysia adalah datangnya dari British dan Malaya. British sebagai penjajah 4 wilayah itu mahu terus mengekalkan kepentingannya di bekas jajahannya. British tidak mahu Singapura jatuh ke tangan komunis, lalu mencadangkan supaya digabungkan dengan Negara Malaya. Bagi Malaya pula, mereka enggan menerima Singapura kerana majoriti penduduknya adalah Cina. Malaya bimbang, kaum Cina akan menguasai Malaya jika hanya Malaya dan Singapura yang bergabung. Berdasarkan ini, Malaya dan British nampak bahawa penyertaan Sabah, Sarawak dan Brunei akan menyelamatkan kaum Melayu di Malaya.

Cadangan pembentukan Malaysia tidak diterima baik di Sabah, Sarawak dan Brunei. Di Sarawak, cadangan ini dibantah oleh banyak tunjuk perasaan secara besar-besaran. Di Brunei, berlaku pemberontakan oleh A.M. Azahari, dan walau pun ia gagal, Brunei kemudiannya tidak jadi untuk menyertai penggabungan. Di Sabah pula, majoriti pemimpin tidak bersetuju. Datuk G.S Sundang umpamanya menentang habis-habisan idea itu. Hasil kaji selidik Suruhanjaya Cobbold juga mendapati, hanya sepertiga rakyat Sabah yang setuju bergabung. Sepertiga yang lain, setuju secara bersyarat dan sepertiga lagi sama sekali tidak bersetuju.

Walau pun berlakunya tentangan, hasil pujuk rayu Malaya, dan hasil persetujuan Malaya ke atas syarat-syarat yang dikemukakan Sabah dan Sarawak, maka terjadi juga penggabungan. Tunku Abd Rahman, dalam proses memujuk, menjanjikan untuk tidak menjajah Sabah, Sabah memerintah sendiri dan penyertaan Sabah kelak adalah rakan kongsi sama taraf dan sama rata dengan Malaya dalam Malaysia. Dengan jaminan itu, pemimpin Sabah seperti Tun Mustapha dan Tun Fuad termakan pujuk. Tun Fuad misalnya, pada mulanya tidak bersetuju menyertai pembentukan Malaysia sebab bimbang, jawatan-jawatan di Sabah diambil orang Malaya dan Sabah akan dijajah Malaya.

Parti-parti politik di Sabah kemudian mengemukakan syarat-syarat untuk menyertai pembentukan Persekutuan Malaysia. Syarat-syarat itulah yang kini dikenali sebagai Perkara 20. Tanpa persetujuan dan penerimaan Perkara 20, maka Sabah akan memerintah sendiri seperti Brunei pada masa kini. P20 kemudian dibahaskan dalam Jawatankuasa Antara Kerajaan ( IGC ). Selepas diluluskan dengan beberapa ubahsuai dan syor tambahan, maka Perjanjian Malaysia pun ditandatangani sebagai tanda lahirnya sebuah Persekutuan yang baru.

Filipina membantah keras pembentukan Malaysia dan mendakwa Sabah sebagai wilayah mereka dan bukannya wilayah Malaya. Menurut Presiden Macapagal, selagi Sabah berada dalam Malaysia, Filipina akan terus menuntut Sabah. Sebaliknya jika rakyat Sabah memilih untuk memerintah sendiri, maka Filipina akan menggugurkan tuntutan mereka ke atas Sabah, sebab itu adalah pilihan penduduk Sabah. Indonesia pula melancarkan kempen 'Ganyang Malaysia' dan menghantar tentera ke sempadan Sabah hingga berlakunya konflik bersenjata dengan pasukan Malaysia dan Australia.

Dengan begitu banyak peristiwa dan liku-liku dalam proses ke arah lahirnya Malaysia, mari bersama sayangi Malaysia. Sayangi Malaysia bermaksud, Malaysia yang ada mesti adalah Malaysia yang adil, yang kita impikan dan harapkan. Semua janji-janji, jaminan, syor dan terutama Perkara 20 hendaklah dilaksana supaya semua orang Sabah merasa bertuah berada dalam Malaysia. Jika janji, jaminan dan syor itu tidak dilaksana, anak-anak muda Sabah akan terus tidak puas hati, dan akhirnya akan menguburkan Malaysia. Sabah akan lahir sebagai sebuah negara yang berdaulat dan merdeka, bebas dari campur tangan Malaya.

Source: http://ssprakyat.blogspot.com/2015/01/sejarah-pembentukan-malaysia.html

Author Name

{picture#YOUR_PROFILE_PICTURE_URL} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.